SELAMAT DATANG

DAPATKAN INFO-INFO PENTING SEPUTAR DUNIA PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Minggu, 10 Januari 2010

INDUSTRI PETERNAKAN BERKELANJUTAN DALAM ERA PEMANASAN GLOBAL

Pendahuluan
Pemanasan global merupakan encaman bagi kelestarian lingkungan, karena memiliki dampak yang sangat besar dalam berbagai segi kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah adanya emisi gas methan yang dihasilkan oleh ternak. Oleh karena itu, upaya pengurangan emisi methan yang dihasilkan oleh ternak, perlu menjadi perhatian dalam upaya membangun industri peternakan yang berkelanjutan di masa mendatang.

Pemanasan Global (Global Warming)
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), karbon monoksida (CO), gas methan (CH4), dinitro oksida (N2O), chloroflourocarbon (CFC), yang terdiri dari haloflouricarbon (HFC) dan perflourocarbon (PFC) serta sulfur hexaflouride (SF6) sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Panas matahari masuk ke bumi, sebagian akan diserap bumi dan sisanya akan dipantulkan kembali ke angkasa sebagai gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dapat dipantulkan kembali ke angkasa, terperangkap di dalam bumi akibat meningkatnya konsentrasi gas tersebut menyelimuti atmosfer bumi. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula yang berakibat bumi jadi semakin panas.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb).
Pemanasan global juga membawa satu potensi bencana besar, yaitu mencairnya methane hydrates yakni methan beku yang tersimpan dalam bentuk es. Jumlahnya sebanyak 3.000 kali dari methan yang ada di atmosfer. Planet bumi menyimpan methan beku dalam jumlah yang sangat besar yang disebut dengan methane hydrates atau methane clathrates. Methane hydrates banyak ditemukan di kutub utara dan kutub selatan, dimana suhu permukaan air kurang dari 0 0C, atau dasar laut pada kedalaman lebih dari 300 meter, dimana temperatur air ada di kisaran -200C. Methan adalah gas dengan emisi rumah kaca 23 kali lebih ganas dari karbondioksida (CO2), yang berarti gas ini merupakan kontributor yang sangat buruk bagi pemanasan global yang sedang berlangsung. Pemanasan global akan membuat suhu es di kutub utara dan kutub selatan menjadi semakin panas, sehingga methan beku yang tersimpan dalam lapisan es di kedua kutub tersebut juga ikut terlepas ke atmosfer. Para ilmuwan memperkirakan bahwa Antartika menyimpan kurang lebih 400 miliar ton methan beku, dan gas ini dilepaskan sedikit demi sedikit ke atmosfer seiring dengan semakin banyaknya bagian-bagian es di antartika yang runtuh.

Dampak Industri Peternakan Pada Global Warming
Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, sektor peternakan adalah satu dari dua atau tiga penyumbang terbesar bagi krisis lingkungan yang paling serius dalam setiap skala, mulai dari lokal hingga global. Memelihara ternak untuk konsumsi telah menjadi salah satu penghasil gas karbon dioksida terbesar serta menjadi satu-satunya sumber emisi gas methan dan nitro oksida terbesar. Sektor peternakan telah menyumbang 9 persen racun karbon dioksida, 65 persen nitro oksida, dan 37 persen gas methan. Gas methan menghasilkan gas rumah kaca 23 kali lebih besar dan nitro oksida 296 kali lebih banyak jauh di atas karbon dioksida. Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam.
Untuk memproduksi satu kilogram daging, telah menghasilkan emisi karbon dioksida sebanyak 36,4 kilo. Untuk memproduksi satu kalori protein, kita hanya memerlukan dua kalori bahan bakar fosil untuk menghasilkan kacang kedelai, tiga kalori untuk jagung dan gandum, akan tetapi memerlukan 54 kalori energi minyak tanah untuk protein daging sapi. Itu berarti kita telah memboroskan bahan bakar fosil 27 kali lebih banyak dalam usaha peternakan dibandingkan langsung menkonsumsi makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Dengan menggabungkan biaya energi, konsumsi air, penggunaan lahan, polusi lingkungan, kerusakan ekosistem, tidaklah mengherankan jika satu orang berdiet daging dapat memberi makan 15 orang berdiet tumbuh-tumbuhan atau lebih.
Daging merupakan komoditas penghasil emisi karbon paling intensif (18%), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta api, helikopter) di dunia (13,5%). Peternakan juga adalah penggerak utama dari penebangan hutan. Diperkirakan 70% bekas hutan di Amazon telah dialihfungsikan menjadi ladang ternak. Setiap tahunnya, penebangan hutan untuk pembukaan lahan peternakan berkontribusi emisi 2,4 miliar ton CO2. Memelihara ternak membutuhkan energi listrik untuk lampu-lampu dan peralatan pendukung peternakan, mulai dari penghangat ruangan, mesin pemotong, mesin pendingin untuk penyimpanan daging. Mesin pendingin merupakan mata rantai paling tidak efisien energi listrik. Mata rantai inefisiensi berikutnya adalah alat transportasi untuk mengangkut ternak, makanan ternak, sampai dengan elemen pendukung lain dalam peternakan intensif seperti obat-obatan, hormon dan vitamin Mata rantai lain yang sangat tidak efisien tapi telah berlaku demikian kronis adalah pemanfaatan hasil pertanian untuk peternakan. Dua pertiga lahan pertanian di muka Bumi ini digunakan untuk kepentingan peternakan. Sebagai contoh, Eropa mengimpor 70% protein (kedelai, jagung dan gandum) dari pertanian untuk peternakan. Indonesia sendiri pada tahun 2006 mengimpor jagung untuk pakan ternak 1,77 juta ton. Melihat kondisi ini, usaha peternakan telah dihadapkan pada tantangan dan ancaman dalam pengembangan dan eksistensinya di masa mendatang. Oleh karena itu perlu segera dicari solusi yang konkrit dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Pengurangan Emisi Methan Pada Ternak
Di samping berdampak buruk bagi atmosfir, pembentukan metan juga berpengaruh negatif terhadap hewan ruminansia itu sendiri, yaitu dapat menyebabkan kehilangan energi hingga 15% dari total energi kimia yang tercerna. Fermentasi dari pencernaan ternak (enteric fermentation) menyumbang sebagian besar emisi gas metan yang dihasilkan peternakan. Pembentukan gas methan di dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Pada prinsipnya, pembentukan gas methan di dalam rumen terjadi melalui reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik. Pembentukan gas methan di dalam rumen berpengaruh terhadap pembentukan produk akhir fermentasi di dalam rumen, terutama jumlah mol ATP, yang pada gilirannya mempengaruhi efisiensi produksi mikrobial rumen.
Upaya dalam mengurangi emisis methan yang dihasilkan oleh ternak dapat dilakukan dengan menghambat terbentuknya gas methan dalam tubuh ternak dengan pemberian pakan yang berkualitas dan mengendalikan gas methan yang telah dikeluarkan dari dalam tubuh melalui pemanfaatan kotoran menjadi energi alternatif. Pembentukan gas methan di dalam rumen dapat dihambat dengan memberikan bahan pakan yang mengandung serat kasar (CF) rendah dalam ransum ternak ruminansia. Prinsip penghambatannya, selain meningkatkan kandungan asam propionat juga dapat menurunkan produksi gas methan. Pemberian pakan dengan CF rendah sangat penting dalam upaya meningkatkan produksi asam propionat pada biokonversi pakan dalam rumen. Secara alami dengan peningkatan produksi asam propionat tersebut cenderung menurunkan produksi energi yang terbuang dalam bentuk CH4 (Orskov dan Ryle, 1990 ; Tilman et al., 1986). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan semakin tingginya asam propionat, maka prekusor pembentuk glikogen semakin banyak, sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan ternak. Pada reaksi stoikiometri sintesis asam propionat banyak menggunakan gas H2 sedangkan sebaliknya pada sintesis asam asetat banyak dihasilkan gas H2. Gas hidrogen bersama-sama dengan gas CO2 merupakan prekursuor untuk sintesis CH4.
Berdasarkan proses tersebut, maka pola fermentasi pada rumen yang mengarah kepada sintesis asam propionat jelas akan menguntungkan dari segi efisiensi penggunaan energi pakan, karena dengan demikian produksi gas yang kurang bermanfaat berupa CH4 akan cenderung berkurang. Stoikiometri reaksi fermentasi karbohidrat menjadi tiga produk fermentasi utama dalam rumen dapat disederhanakan sebagai berikut (Orskov dan Ryle, 1990) :
C6H12O6 + 2H2O 2CH2COOH + 2CO2 + 4H+2
C6H12O6 + 2H+2 2CH3 CH2COOH + 4H2O
C6H12O6 2CH3 (CH2 )2COOH + 2CO2 + 2H+2
4H+2 + 2CO2 CH4 + 2H2O
Populasi protozoa di dalam rumen berbanding langsung dengan produksi gas methan, artinya produksi gas methan berkurang bila populasi protozoa rumen menurun. Dengan demikian, emisi gas methan dapat dikurangi dengan memberikan zat defaunator seperti saponin. Beberapa tanaman tropis mengandung saponin dalam jumlah tinggi, adalah buah lerak (Sapindus rarak), waru (Hibiscus Tilliacius), daun kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis). Eliminasi protozoa rumen meningkatkan jumlah bakteri amilolitik, karena protozoa berukuran besar merupakan predator bakteri selulolitik. Dengan berkurangnya populasi protozoa maka aktivitas bakteri amilolitik-metanogen di dalam rumen meningkat, sehingga menghasilkan lebih banyak asam propionat dan lebih sedikit gas methan. Selain itu, sejumlah bakteri metanogen dalam rumen hidup dengan menempel pada permukaan dinding sel protozoa. Dengan berkurangnya populasi protozoa maka bakteri metanogen menurun karena kehilangan sebagian habitatnya. Dengan demikian, defaunasi memberikan harapan untuk menurunkan kontribusi gas methan dari ternak ruminansia terhadap akumulasi gas rumah kaca antara lain berdasarkan sifat toksik terhadap bakteri metanogen, seperti senyawa-senyawa metan terhalogenasi, sulfit, nitrat, dan trikhloroetilpivalat, atau berdasarkan reaksi hidrogenasi sehingga mengurangi reduksi CO2 oleh hidrogen, seperti senyawa asam lemak berantai panjang tidak jenuh.
Pengendalian gas methan yang telah dikeluarkan dari dalam tubuh dapat dilakukan melalui pemanfaatan kotoran menjadi pupuk tanaman maupun energi alternatif. Pada proses pengomposan akan terjadi proses penguraian aerob yang tidak menghasilkan gas methan, sehingga metode ini akan mengurangi emisi methan ke dalam atmosfer. Pengomposan dengan laju produksi 15 persen per tahun dapat menurunkan produksi gas methan sebesar 4000-5000 ton (Nengsih, 2002). Selain itu, proses anaerobik digestion limbah ternak dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi, yakni bio gas. Biogas merupakan energi yang dapat dihasilkan dari limbah, sehingga biogas tidak merusak keseimbangan karbondioksida. Energi biogas dapat berfungsi sebagai energi pengganti bahan bakar fosil sehingga akan menurunkan gas rumah kaca di atmosfer dan emisi lainnya. Dengan menggunakan biogas sebagai bahan bakar maka akan mengurangi gas methan di udara. Gas methan yang dihasilkan dari biogas dengan proses pembakaran oksigen akan dirubah menjadi karbondioksida yang memiliki daya emisi 1/23 daripada methan (CH4 + 2 O2 → CO2 + 2 H2O). Selain keuntungan energi yang didapat dari proses anaerobik digestion dengan menghasilkan gas bio, produk samping seperti sludge. Meterial ini diperoleh dari sisa proses anaerobik digestion yang berupa padat dan cair. Masing-masing dapat digunakan sebagai pupuk berupa pupuk cair dan pupuk padat.

DAFTAR PUSTAKA

Agus. R and Rudy. S. 2008. Global Warming. Mengancam Keselamatan Planet Bumi. http://www.godsdirectcontact.or.id/

Anonymous. 2005. Methane Hydrates and Global Warming. http://www.realclimate.org

Nengsih, Fitria. 2002. Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Pengomposan Sampah Padat Perkotaan. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Orskov, E. R and M. Ryle. 1990. Energy Nutrition in Ruminant. Elsevier Applied Science, London.

Tilman. A.D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawiro Kusumo dan S Lebdosoekojo. 1986. Ilmu Makanan ternak Dasar. Gajah Mada Universitty Press. Fakultas Peternakan, UGM. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar